Headlines News :
Home » , » Muhammad Sex Dan Perang

Muhammad Sex Dan Perang

Written By Islam Dalam Fakta on Jumat, 18 Januari 2013 | 00.26

Dari anarki perang kini kita beralih ke anarki seksual. Umat Muslim menganggap bahwa Muhammad adalah seorang nabi agung tetapi Muhammad sendiri menyatakan: “Aku hanya manusia biasa seperti kamu.” (Qs18:110 dan 41:6). Al Qur’an memberikan lebih banyak keistimewaan kepada Muhammad dan sedikit kewajiban, Allah yang memberikan kepada Muhammad banyak isteri dan gundik sedangkan untuk kaum Muslim hak untuk menikah maksimum empat isteri.
“Wahai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri-isterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan perempuan mu’min yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mu’min supaya tidak menjadi kesempitan bagimu.” (Qs 33:50)

Kesempitan? Ya, agar tidak kesempitan, maka Allah tidak membatasi jumlah dan jenis wanita yang boleh dinikahi Muhammad! Malahan ia juga boleh mengambil wanita manapun yang diinginkannya, termasuk yang telah menikah, atau memaksa si suami untuk menceraikan isterinya ketika Muhammad menginginkannya, bahkan juga termasuk membunuh suaminya tatkala Muhammad menginginkan isterinya. Bukankah itu anarki sex yang parah?
Para ahli penafsir Al Qur’an tak dapat menjawab apakah ayat yang sedemikian egosentris masih akan tetap diturunkan Allah apabila Khadijah isteri Muhammad yang pertama masih hidup disamping Muhammad. Tidak ada sejarahnya dimana seorang nabi “teladan kemanusiaan” dikenai hukum Allah yang berbeda dengan umat yang dituntunnya. Bahwa Sulaiman beristeri 1000 itu karena keinginan dagingnya sendiri, bukan karena adanya pengkhususan hukum Allah kepada dirinya. Dia manusia biasa berpoligami bukan atas beban nama Allah.
Al-Halabi salah seorang ulama Muslim yang terkemuka dalam bukunya yang terkenal Al-Sira Al-Halabia, menyatakan:
“Jika Muhammad menginginkan wanita yang belum menikah, dia bahkan mempunyai hak untuk menikahinya tanpa upacara pernikahan dan tanpa saksi atau wali. Persetujuan wanita itu juga tidak diperlukan. Namun jika wanita itu sudah menikah dan Muhammad menunjukkan keinginannya terhadap dirinya, adalah sebuah keharusan bagi suaminya untuk menceraikannya, agar Muhammad dapat menikahinya. Muhammad juga mempunyai hak untuk memberikan wanita yang dinikahinya itu kepada lelaki manapun yang ia pilih tanpa persetujuan wanita tersebut. Dia bahkan juga dapat menikah pada musim naik haji, sebagaimana yang dia lakukan dengan Maemunah. Dia juga mempunyai hak untuk memilih para tawanan, siapapun yang dia inginkan, sebelum pembagian hasil jarahan perang.” (Al-Sira Al-Halabia, vol.III, hal 377).
Menikah tanpa saksi atau upacara pernikahan atau tanpa persetujuan wanitanya, apa yang menurut syariat Islam disebutkan sebagai tindakan perzinahan dan akan berakhir dalam api neraka ternyata tidak berlaku bagi Muhammad. (Lihat Hadits Sahih Bukhari, vol.2, Book 23 #468 dan vol.9, Book 67 #171).
Ketika orang-orang menanyakan hal tersebut, dengan cepat Allah melalui Jibril menurunkan ayat-ayat untuk membela Muhammad, seperti ayat yang disebutkan diatas. Muhammad berhubungan dengan tigapuluh wanita lebih namun dikatakan bahwa dia menikah secara sah hanya dengan duapuluh dua wanita. Diantara pengiringnya, enam wanita diantaranya telah menawarkan diri kepada sang Nabi namun hanya empat yang diinginkan. (Lihat Al-Sira Al-Halabia oleh Al-Halabi, hal.417). Juga diriwayatkan bahwa Muhammad mempunyai kemampuan menggilir isteri-isterinya dalam satu malam sebanyak sembilan isteri. (HSB 181).
Ilmuwan dan negarawan Muslim Ali Dashti melaporkan daftar wanita dalam kehidupan Muhammad:
1. Khadijah 12. Hindun
2. Sawdah 13. Asma bt Saba
3. Aisha 14. Zainab bt Khuzaimah
4. Ummu Salama 15. Habla
5. Hafsah 16. Asma bt Noman
6. Zainab bt Jahsy 17. Maria (Kristen)
7. Juwariyyah 18. Rihana
8. Ummu Habiba 19. Ummu Sharik
9. Safiyah bt Huyai 20. Maimunah
10. Maimunah bt Harits 21. Zainab
11. Fatimah 22. Khaula
Keterangan:
– Wanita no. 1 s/d 16 adalah isteri-isteri Muhammad.
– Wanita no. 17 dan 18 adalah budak atau gundik.
– Wanita no. 19, 20, 21, 22 adalah wanita-wanita Muslim yang menyerahkan diri mereka sendiri untuk memuaskan Muhammad.
Kepada para Muslimah tersebut, Nabi Suci berani memberikan janjinya sebagai berikut: “Siapa yang menjamin kepadaku kelaminnya dan lidahnya niscaya aku menjamin surga kepadanya.” (HSB 1816), sementara wahyu Allah tidak memastikan surga apapun bagi Muslim kecuali neraka: “Dan tidak ada seorangpun dari padamu, melainkan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kepastian yang sudah ditetapkan” (Surat 19:71).
Khadijah.
Ketika Muhammad berumur 25 tahun, ia dilamarkan kawin dengan majikannya Siti Khadijah, seorang pengusaha kaya dan terpandang, yang telah berumur 40 tahun. Muhammad menemukan dalam diri Khadijah belas kasih seorang ibu yang tidak dia dapatkan pada masa kecilnya. (The Wives of the Prophet oleh Dr bint al-Shati, hal.54).
Muhammad punya tujuh anak dengan Khadijah, anak-anaknya ini didapat ketika Muhammad berumur 25 tahun sampai 40 tahun. Ketika Muhammad berumur 50 tahun, Khadijah meninggal dalam usia 65 tahun. Selama 25 tahun hidup bersama Khadijah, Muhammad hidup secara monogami. Tetapi entah kenapa setelah kematian Khadijah, Muhammad mulai mengawini isteri-isterinya yang baru.
Sawda bint Zam’a.
Ini adalah kisah pernikahan Muhammad dengan Sawda bint Zam’a (Saodah), dia adalah satu-satunya isteri Muhammad yang tidak cantik tetapi banyak ahli Muslim menggambarkan Sawda adalah seorang yang baik dan cantik didalam hati.
Ketika Khadijah meninggal, Khawla bint Hakim mendatangi Muhammad dan bertanya kepadanya: “Apakah engkau menginginkan seorang perawan atau janda?” Muhammad meminta kedua-duanya.
Yang perawan adalah anak perempuan Abu Bakar sedangkan yang janda adalah Sawda. Namun dia terkejut setelah mengetahui pada malam pernikahannya bahwa Sawda tidak cantik. Muhammad memarahi Khawla karena memperkenalkannya dengan Sawda.
Ibn Hajar Asqalani menulis: “Khawla, guna memperbaiki kesalahannya menawarkan dirinya kepada Muhammad. Dan Khawla tinggal bersama Muhammad sebagai layaknya suami isteri, dan itu terjadi hanya dua bulan setelah pernikahan Muhammad dengan Sawda.” (Al-Isabafi tamyis al-Sahaba oleh Ibn Hajar, vol.IV, hal.284).
Dr. bint Al Shati mengatakan dalam bukunya:
“Ketika suatu malam Muhammad akan tidur dengan Sawda, sang nabi memberitahukannya tentang keputusannya untuk menceraikan Sawda. Dia sangat terkejut mendengar berita itu dan dia merasa seolah-olah dinding-dinding sedang roboh menim-panya. Sawda memohon kepadanya: “Tolong simpan aku, wahai Rasul Allah.” Muhammad menjawab: “Dengan satu syarat, bahwa kamu memberikan jatah malam-malammu kepada Aisha.” Daripada menghabiskan malam-malam tersebut dengan Sawda, dia menghabiskannya dengan Aisha ditambah malam-malam lain yang sudah dijatahkan baginya. Sawda sepakat, sambil mengatakan: “Mulai sekarang saya tidak akan mengingini apa yang diinginkan oleh seorang wanita, karena saya memberikan jatah malam saya kepada Aisha.” Akibatnya Muhammad menyimpan Sawda sebagai seorang isteri tetapi tidak lagi mengunjunginya. (The Wives of the Prophet oleh bint Al-Shati, hal 66-67). Itulah pembagian yang adil versi Muhammad dalam menggilir isteri-isterinya!
Sawda banyak mengasuh anak-anak Muhammad dari Khadijah.
Banyak para ulama Muslim mengatakan bahwa hanya Muhammad yang bisa berlaku adil kepada isteri-isterinya, walaupun faktanya tidak begitu.
Aisha / Aisyah.
Muhammad meminang Aisha binti Abu Bakar. Abu Bakar menolak pinangan Muhammad secara halus dan berkata: “Saya ini saudaramu.” Tetapi Muhammad menjawab: “Engkau saudaraku dalam agama Allah dan Kitabnya, sedang Aisyah itu boleh saya kawini.” (Bukhari vol.7, buku 62, no.16). Dan terhadap Aisyah kecil Muhammad berkata dengan kata-kata rayuan: “Saya melihat engkau dalam mimpi, dibawa malaikat kepada saya dalam kerudung kain sutera. Malaikat berkata: “Inilah isterimu!” Setelah kerudung saya buka, rupanya engkau.” (Bukhari vol.7, buku 62, no.67).
Muhammad mengawini Aisyah waktu masih dibawah umur, Muhammad sudah berumur 51 tahun, sedangkan Aisyah baru berumur 6 tahun. Mereka serumah ketika Aisyah berumur 9 tahun dan Muhammad 53 tahun. Zaman sekarang, ia akan disebut sebagai pedofil, akan dicekal dan dikenakan hukuman berat. Ia bukan contoh teladan seperti yang dinubuatkan jelas-jelas dalam Al Qur’an. (Qs 33:21).
Aisyah berkata: “Rasulullah pernah mencium dan mencumbu aku dengan mesra ketika beliau sedang berpuasa. Tetapi beliau sanggup mengendalikan nafsunya.” (HSM 1073).
Muhammad mengunjungi isteri-isterinya kadang semuanya dalam satu malam, melakukan pemanasan. Ada hadits yang mence-riterakan bahwa dia tidak selalu melakukan seks dengan isteri-isterinya, khususnya yang sedang menstruasi. Aisha melaporkan: “Tak seorangpun dari kalian punya kekuatan untuk mengontrol nafsunya seperti sang nabi, karena dia bisa meraba-raba isteri-isterinya tetapi tidak melakukan hubungan seks.” (Bukhari, Vol 1, Book 6, No.299). Tetapi Aisha masih anak kecil, dia mungkin tidak tahu bahwa suaminya sudah “uzur”, bukan melakukan kontrol nafsu melainkan memang tidak mampu dalam waktu-waktu tertentu.
Di tempat lain Aisha berkata: “Aku tidak pernah melihat atau menyaksikan aurat dari sang nabi.” (Tabaqat volume 1, page 368).
Muhammad mengaku mendapat wahyu-wahyu terbaik ketika tidur dibawah satu selimut dengan Aisha, isterinya yang masih anak kecil. Setelah 9 tahun menikahi Aisyah, Muhammad meninggal dunia dalam usia 62 tahun, sedangkan Aisyah masih 17 tahun tetapi dilarang kawin lagi dengan orang lain. Larangan tersebut tertulis sebagai dosa amat besar dalam Al Qur’an sebagai berikut:
“Dan tidak boleh kamu menyakiti hati Rasulullah dan tidak pula mengawini isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar dosanya disisi Allah.” (Qs 33:53).
Keinginan Muhammad untuk tidur (berhubungan seksual) dengan anak perempuan dibawah umur tidak hanya dengan Aisha, sebagaimana dijelaskan oleh Abbas Ibn Hisham dan Ibn Hajar yang mengatakan:
Rasul Allah mengatakan, ketika dia melihat Um Habib bint Abbas yang masih balita: “Ketika dia mencapai umur selagi saya masih hidup, maka saya akan menikahinya.” Pada waktu itu, anak itu berumur tiga tahun dan Muhammad berumur enampuluh tahun. Muhammad meninggal dua tahun kemudian, dan berharap anak perempuan itu berusia enam atau sembilan tahun seperti Aisha agar dapat dinikahinya.
Ini tidak mengada-ada, anda dapat membaca apa yang ditulis oleh Ibn Hajar dalam bukunya Al-Isaba fi tamyis al-Sahaba, vol.IV, hal.422 dan yang dicatat oleh Imam Suhaili dalam Rawd al-Unuf, vol.III, hal.66.
Zainab bint Jahsh.
Khadijah isteri pertama Muhammad membeli seorang budak bernama Zaid Ibn Haritha yang kemudian diberikan kepada suaminya untuk menjadi pelayannya. Setelah Muhammad mendapat panggilan kenabian, dia membebaskan Zaid dan mengadopsinya sebagai anak dimuka umum; dimana dia berkata: “Zaid adalah anakku, saya mewarisinya dan dia mewarisiku.” Sejak itu Zaid dikenal dengan sebutan Zaid bin Muhammad, yang kemudian menikah dengan Zainab bint Jahsh. Muhammad-lah yang menikahkan keduanya atas nama Allah (surat 33:36). Zainab terkenal dengan kecantikannya yang bahenol.
Suatu hari Muhammad mengunjungi anak angkatnya yaitu Zaid. Ketika dia memasuki rumah, Zaid sedang tidak ada di rumah. Tetapi Muhammad melihat Zainab setengah telanjang di balik tirai ketika sedang berpakaian. Muhammad tersirap dan sangat menginginkannya. Sebelum dia pergi, dia berkata kepadanya: “Terpujilah Allah yang dapat merubah hati seseorang.” Zainab merasa senang dan menceriterakan hal itu kepada suaminya. Zaid langsung menemui Muhammad dan bertanya: “Apakah engkau menginginkan aku menceraikannya untukmu?”
Muhammad menjawab di luar kejujuran: “Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah.” Dari luar Muhammad tidak ingin Zaid menceraikan isterinya tetapi dalam hatinya Muhammad bernafsu untuk memiliki Zainab ketika dia melihatnya setengah telanjang.
(Al-Kashaf oleh Al-Zamkhashri, vol.III, hal.54).
Namun Allahnya Muhammad mendatanginya untuk memarahi keragu-raguannya. Allah telah dibuat sebagai pihak yang menginginkan Zainab untuk meninggalkan suaminya. Dan ini tentu melanggar semua norma moralitas. Demi Muhammad bisa mendapatkan Zainab, Allah dibuat untuk menurunkan wahyu perceraian dan perkawinan sekaligus:
“Dan ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya: “Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah,” sedang kamu menyembunyikan didalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya, Kami kawinkan kamu dengan dia……” (Qs 33:37).
Tidakkah Muslim melihat siapa Allah ini? Yakni Allah yang mengawinkan Zainab (dengan Zayd), lalu menceraikannya, dan mengawinkannya lagi untuk Muhammad?
Zainab berkisah:
Setelah bercerai (dari Zayd), langsung dan lihatlah Rasul Allah memasuki rumah saya saat saya sedang tidak berjilbab dan saya bertanya kepadanya: “Apakah akan seperti ini tanpa wali atau saksi?” Dia menjawab kepada saya: “Allah adalah walinya dan “Jibril” adalah saksinya.” Akibat dari pernyataan Muhammad, Zainab menyombongkan diri di depan isteri-isteri Muhammad lainnya dengan mengatakan: “Ayah-ayahmu yang memberikan kamu dalam pernikahan, namun untuk saya, surgalah yang memberikan saya dalam pernikahan dengan Rasul Allah.” [Baca “Yurisprudensi dari Kehidupan Muhammad (Faqih Al-Sirah) oleh Sa’id Ashur, hal.126; dan Al-Isahafi tamyiz al-Sahaba oleh Ibn Hajar Asqaliani, vol.IV, hal.307].
Tetapi yang dinikahi Muhammad ini asdalah isteri dari anak angkatnya, yang telah diumumkan sebagai anaknya sendiri, Zayd bin Muhammad. Jadi agar Muhammad bisa keluar dari issue sah tidaknya ia mengawini Zainab, kembali “Jibril” dibuat untuk menurunkan ayat dari Allah untuk meniadakan adat dan tradisi sebagai anak angkat:
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki diantara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Ahzab 33:40).
Ulama terpandang dalam bukunya, Al-Sira Al-Halabia, vol.III hal 377, menulis: “Jika Muhammad bernafsu atas wanita yang sudah menikah, menjadi keharusan bagi suaminya untuk menceraikannya untuk Muhammad.” Ini adalah untuk kepentingan yang lebih luas. Itu sebabnya para ulama mengatakan bahwa pernikahan-pernikahan Muhammad semata-mata untuk menguatkan Islam dan antar suku.
Kemudian hari setelah Muhammad meniadakan adat kebiasaan adopsi, datanglah Abu Hudayfa dan isterinya Sahla yang telah mengadopsi seorang anak bernama Salim. Mereka datang untuk meminta nasehat: “Rasul Allah, Salim budak yang dibebaskan oleh Abu Hudayfa tinggal bersama di rumah kita.” Kata Sahla. “Dia telah mencapai puber sebagai seorang laki-laki dan telah tahu perihal seks seperti layaknya lelaki dewasa.” Muhammad memberikan solusi: “Susui dia.” Katanya. “Bagaimana bisa kususui dia, sedangkan dia sudah dewasa” tanya Sahla terkejut. Muhammad berkata: “Aku tahu dia sudah jadi lelaki muda.” Malah Salim sudah cukup umur untuk ikut dalam perang Badar. Dalam hadits lain diceriterakan setelah pernyataan Sahla itu, Muhammad tertawa terbahak-bahak. (Hadits Sahih Muslim 8.3424, 3425, 3426, 3427, 3428).
Maksud Muhammad dengan menyusui yaitu telah ditetapkan hubungan satu tingkat antara anak-ibu, meskipun laki-laki itu bukan anak biologisnya.
Dr Izzat Atiya dari Universitas Al-Azhar Mesir, salah satu institusi Sunni Islam yang paling terkenal, terilhami oleh hadits ini mengeluarkan sebuah fatwa yang mengizinkan para wanita untuk menyusui teman kerjanya yang lelaki “langsung dari payudaranya” sedikitnya lima kali untuk menjadikan adanya ikatan keluarga dan dengan demikian mereka diizinkan untuk berdua dalam satu ruangan di tempat kerja. Fatwa mengatakan:
“Seorang wanita di tempat kerja bisa melepas kerudungnya atau memperlihatkan rambutnya di depan seseorang yang telah dia susui.”
Meskipun sebagian Muslim tidak mempunyai masalah dengan fatwa ini karena berdasar hadits yang sahih, tetapi sebagian lain menolak dan menimbulkan kemarahan di Mesir dan dunia Arab. Dr Atiya dipaksa untuk menarik fatwanya kembali, padahal itu bukan karena salah fatwanya, tetapi sumber rujukannya. (http://news.bbc.co.uk/2/hi/middle-east/6681511.stm)
Juwariyyah bint Al-Harith.
Aisha yang dikenal sebagai “ibu orang beriman” mengkisahkan bahwa Juwariyyah adalah tawanan wanita yang paling cantik dari Yahudi bani Mustaliq berumur 20 tahun. Mulanya ketika Muhammad membagi-bagi jarahan dan tawanan, Juwariyyah jatuh ke tangan Thabit bin Qais tetapi karena kecantikan Juwariyyah, Muhammad mengambil Juwariyyah untuk dirinya sendiri dan menukar dengan sembilan keping emas kepada Thabit bin Qais, tetapi tidak memberi mahar kepada isterinya.
Juwariyyah adalah putri bangsawan yang telah menikah dengan sepupunya. Suami Juwariyyah dibunuh oleh Muhammad dan isterinya diambil, pada waktu mengawininya Muhammad berusia 58 tahun dan Juwariyyah berusia 20 tahun. Transaksi antara Muhammad dan Thabit bin Qais untuk mengambil Juwariyyah berlangsung dihadapan Aisha, sehingga kemudian terjadilah kisah Aisha dan Safwan lawan Ali bin Abu Talib.
Safiya bint Huyay.
Pada tahun ke-7 Hijra (629 M) Muhammad memerintahkan serangan terhadap suku Yahudi Khaybar.
Pada serangan tersebut banyak orang Khaybar tewas, hartanya dirampas dan wanita-wanitanya dijadikan tawanan. Diantara para tawanan terdapat Safiya (17 tahun), suaminya Kinana dan ayahnya. Dihya Al-Kalbi mengambil Safiya tetapi Muhammad lagi-lagi menukar Safiya dengan dua saudara sepupu Safiya kepada Dihya. Muhammad memerintahkan ayahnya dibunuh, suaminya disiksa untuk menunjukkan hartanya dan akhirnya dibunuh, sedangkan isterinya Safiya diambil Muhammad dan dibawa kedalam tendanya untuk bersetubuh dengannya pada malam yang sama dimana suaminya dibunuh itu. Ketika Muhammad menikahinya, Safiya baru berumur 17 tahun dan masih dalam bulan pertama pernikahannya dengan Kinana sedangkan Muhammad berumur 59 tahun, tiga tahun kemudian Muhammad meninggal dunia dan Safiya menjadi janda untuk yang kedua kalinya tetapi sesuai dengan Sunnah Rasul, Safiya tidak boleh kawin lagi.
Muslim membela dengan mengatakan bahwa Muhammad menikahi para janda hanya sebagai symbol memuliakan para janda, karena suami-suami mereka gugur dalam pertempuran. Dikatakan, pernikahan dengan para janda adalah untuk menaikkan citra para janda di mata masyarakat waktu itu, jadi bukan untuk alasan nafsu berahi. Tetapi marilah kita renungkan, memaksa tawanan perempuan menjadi isterinya setelah suaminya disiksa dan dibunuh (bukan janda dari prajuritnya yang gugur) dan merebut dari tangan sahabatnya yang siap menikahinya, dan ditukarkan dengan perempuan lain semaunya, apakah semuanya itu menaikkan citra perempuan atau sebaliknya merendahkan citra perempuan? Bahkan apakah itu menaikkan citra Muhammad sendiri sebagai nabi Allah yang dikatakan “murah hati menolong para janda”? Muslim hanya mendustai dirinya demi melindungi dusta nabinya!
Umm Salma.
Muhammad menikah dengan wanita cantik lainnya adalah Umm Salma, atas perkawinan ini Aisha mengatakan:
“Ketika Rasul Allah menikahi Umm Salma, saya terpuruk dalam kesedihan besar saat dia membicarakan kecantikannya, namun ketika saya melihatnya, saya melihat apa yang dia gambarkan.” (The Wives of the Prophet oleh bint Al-Shati, hal.137).
Umm Salma adalah anak dari saudara perempuan Uthman bin Affan (kalifah yang ketiga). Muhammad pertama kali melihat Umm Salma di rumah Uthman lalu mengingininya. Duapuluh empat jam kemudian nabi memerintahkan suami Umm Salma yang bernama Ghassan bin Mughira untuk membawa bendera didepan pada pertempuran berikutnya. Ghassan melakukannya dan dia tewas dalam pertempuran itu. DAN …Keesokan harinya sang nabi besar itu menikahi Umm Salma. DAN …
ulama Muslim mengatakan perkawinan antara Muhammad dan Umm Salma adalah belas kasihan sang Nabi kepada jandanya Ghassan bin Mughira.
Umm Habiba (Ramlah) bint Abu-Sufyan.
Umm Habiba adalah seorang wanita cantik berusia 23 tahun telah menikah dengan Ubayd-Allah bin Jahsh. Ubayd adalah anak dari bibi Muhammad sendiri, dan sekaligus adalah saudara kandung dari Zainab yang dikawini Muhammad seminggu sebelumnya. Ubayd dipaksa untuk pergi lalu Muhammad menikahi isterinya.
Maka Ubayd berkata kepada Muhammad:
“Engkau bukanlah seorang nabi ataupun seorang Rasul Allah. Berhentilah mengatakan demikian. Saya mengimani Isa Almasih karena Dia adalah Kebenaran, tetapi engkau adalah orang yang mementingkan diri sendiri.” (Lihat the Wives of the Prophet oleh bint Al-Shati, hal.203). Ketika menempati posisinya Ubayd barulah agaknya Muslim bisa melihat Kebenaran!
Maryam Qibtiyyah (Maria Kristen Mesir).
Muhammad mengutus Amro bin Al-Aaz membawa surat kepada Al-Muqawqis penguasa Mesir, dan memerintahkan untuk memeluk Islam. Mengetahui kelemahan Muhammad, agar tidak berisiko, dia memberikan hadiah kepada Muhammad dua orang saudara perempuannya yang sangat cantik. Salah satunya Maryam. Jika bukan karena sebuah ayat Al Qur’an yang turun sebelumnya yang melarang menikahi dua orang perempuan bersaudara, Muhammad mungkin akan menikahi keduanya. Tetapi ayah mertua Muhammad yaitu Umar menegurnya dan memberikan nasehat.
Muhammad puas dengan Maryam, menghabiskan banyak waktu siang dan malam dengannya. (Lihat Al-Isaba fitamyis al-Sahaha oleh Ibn Hajar Asqalani, bagian VII hal.291 dan The Wives of the Prophet, hal 217).
Ibn Sa’d menceriterakan seorang lelaki koptik yang suka mengunjungi Maryam, gosip beredar bahwa dia adalah kekasih Maryam. Maryam budak koptik yang cantik dengan rambut ikal tinggal di sebuah taman di utara Medinah, ia dipindahkan kesana karena isteri-isteri Muhammad yang lain cemburu dan membencinya. Gosip tentang lelaki koptik ini sampai ke telinga Muhammad yang lalu menyuruh Ali untuk membunuh lelaki tersebut. Si lelaki ketika melihat Ali menghampirinya langsung mengangkat pakaiannya dan Ali melihat lelaki itu tidak mempunyai aurat (alat kelamin), lalu Ali membiarkan dia hidup. (Tabaqat, Volume 8, Page 224).
Suatu kali Maryam ingin bertemu Muhammad, jadi dia pergi ke rumah isterinya Hafsa putri Umar, Yang waktu itu tidak ada di rumah. Ketika Hafsa tiba-tiba pulang dia menemukan Muhammad sedang berhubungan intim dengan Maryam di tempat tidurnya sendiri! Dia memprotes Muhammad:
“Di dalam rumahku dan diatas tempat tidurku dan pada hari yang ditentukan untukku……..” Nabi yang menerima perwahyuan Allah berkata: “Rahasiakanlah dan jangan katakan siapapun. Jangan katakan kepada Aisha.” (karena ia sangat takut terhadap Aisha). Dia menambahkan: “Saya tidak akan menyentuh Maryam lagi. Dan saya menyatakan kepadamu dan ayahmu serta ayah Aisha, bahwa mereka akan memimpin bangsaku setelah aku. Saya tinggalkan itu kepada mereka.” Tetapi Hafsa memberi tahu Aisha lalu Muhammad menceraikan Hafsa. (Lihat Sunan Abu Dawud, buku 12 #2276).
Ketika kabar perceraian itu terdengar oleh Umar ayah Hafsa dia menjadi sangat marah dan nyaris meninggalkan Islam. Ketika Muhammad mendengar reaksi Umar, dia mengambil kembali Hafsa dengan sebuah perintah dari Jibril yang berkata kepadanya: “Hafsa akan menjadi isterimu pada hari pengangkatan.” (Lihat hadits Bukhari, vol.3, Buku 43 #648 dan Sura Al-Ahzab).
Karena Nabi menyatakan tidak akan menyentuh Maria lagi, “terlanjur” mengharamkan Maria, maka Allah menurunkan ayat yang menghalalkan kembali sang Nabi berhubungan intim dengan Maria. “Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu, kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Surat Al-Tahrim / Pengharaman 66:1).
Untuk menyelesaikan masalah isteri-isteri Muhammad dan kecemburuan akibat tindakan Muhammad, Allah mengerahkan diri-Nya, Jibril dan seluruh umat beriman untuk membela sang Nabi dalam menentang dua wanita tak berdaya, Aisha dan Hafsa dengan memberikan ancaman dan ultimatum yang mematikan masa depan mereka. “Jika kalian berdua (Aisha dan Hafsa) bertobat kepadanya, hatimu memang demikian keinginannya; namun jika kalian saling mendukung melawannya, sesungguhnya Allah adalah pelindungnya dan Jibril dan semua orang benar diantara mereka yang beriman dan lebih dari itu, para malaikat akan mendukungnya. Jikapun, bila diinginkannya sang nabi untuk menceraikan kamu semua, Allah akan memberikan kepada Muhammad sebagai gantinya, pendamping-pendamping yang lebih baik darimu.”
Dengan kata lain Allah berkata dengan nada mengancam:
“Jika kamu tidak berhenti menentang Rasul Allah, Aku Tuhannya akan membuatnya menceraikanmu dan menikahi isteri-isteri yang lebih baik daripada kalian.”
(Lebih dari 20 Sarjana Muslim mencatat ceritera ini termasuk:Al-Istiak, vol.IV, hal 1812; Oun Al-Ithr, vol.II, hal.402; Al-Samt Al-Thamin, hal.85; Al-Zamkhashri, hal.562-63; The Causes of Descendancy oleh Al-Suyuti, hal.280; Al-Ittiqan oleh Al-Suyuti, vol.IV, hal.92; Fuqaha Al-Sahaha oleh Abd.Al-Aziz Al-Shanwi, hal.38; dan The Life of Muhammad by Dr Haykal, hal.450, entitled “The Revolution of the Wives of Muhammad”).
Maryam adalah satu-satunya wanita yang melahirkan anak laki-laki bagi Muhammad ketika ia berumur 60 tahun, yang diberi nama Ibrahim. Walaupun Maryam lebih cantik dari isteri-isteri lainnya, dan memuaskan Muhammad, namun ia tidak bisa dinikahi sebagai isteri sah, karena Maryam sendiri tidak mau masuk Islam dalam barisan “the mother of believers”. Ini tentu mengherankan jikalau keteladanan Muhammad meyakinkan Maryam. Akan tetapi Maryam memilih tetap tegar dengan agama dan Juruselamat yang diyakininya.
Ketika Ibrahim lahir, Muhammad membawanya kepada Aisha dan berkata: “Lihat betapa mirip dia denganku.” Aisha menjawab: “Tak kulihat kemiripannya denganmu.” Muhammad bilang: “Tidakkah kau lihat pipinya yang tembam dan putih?” Aisha lalu menjawab: “Semua bayi yang baru lahir yang minum susu punya pipi tembam.” (Tabaqat, Volume 1, Page 125).
Maymuna bint al-Harith.

Muhammad melarang banyak hal untuk orang lain, tetapi dia mengizinkannya untuk dirinya sendiri. Kaum Muslim mengetahui bahwa selama musim haji (Al-Hajj) pernikahan dilarang (Al-Baqara 2:197), namun Muhammad justru menikahi Maymuna bint al-Harith pada saat musim haji. Maymuna sedang berada diatas untanya, tetapi ketika dia melihat sang Nabi, dia menjatuhkan dirinya dihadapannya dan berkata kepadanya bahwa unta dan semua yang diatasnya adalah milik Nabi. Muhammad mengingatkan dia bahwa mereka tengah dalam musim haji, namun Maymunah menjawab bahwa dia tidak ingin menunggu. Sorenya pada hari yang sama, sang Nabi mendapat solusinya dan berkata kepadanya: “Sebuah ayat diturunkan kepadaku”:
“… dan perempuan mu’min yang menyerahkan dirinya kepada Nabi, kalau Nabi mau mengawininya sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mu’min supaya tidak menjadi kesempitan bagimu…” (Qs 33:50).
Muhammad tidak dapat menunggu lebih lama lagi sampai berakhirnya musim haji, paman Nabi yaitu Al-Abbas segera meresmikan pernikahan itu walau ia pernah mengomentari bahwa Muhammad sedang dalam pakaian haji.
(Hadits Sahih Bukhari, vol.3, Book 29,# 63; vol.5, Book 59, # 559 dan Hadits Muslim, Book 8, # 3283-84; Ditegaskan pula oleh Ibn Ishaq bahwa Rasulullah menikahi Maymuna pada saat perjalanannya naik haji dan bahwa hal tersebut dilarang, lihat Al-Baqara 2:222, Hadits Sahih Muslim, Book 3, # 577-581).
Dalam soal seks, Muhammad tidak bisa diatur oleh waktu dan aturan. Dalam Hadits Sahih Muslim Vol.1, hal.590 kaum Muslim mengatakan mengutip Nawai, bahwa Aisha mengatakan:“Jika salah satu dari kita sedang datang bulan, Rasul Allah memerintahkannya untuk datang kepadanya (Muhammad) untuk berhubungan intim, pada saat isterinya sedang berada dalam puncak datang bulannya.”
Maymuna memberi konfirmasi: “Rasul Allah biasa melakukan hubungan intim denganku ketika aku sedang datang bulan.”
Umm Salma mengatakan hal yang sama. (Hadits Sahih Muslim, Book 3, # 577-581).
Isteri-isteri Muhammad terbagi atas dua kubu, kubu Ummu Salamah dan kubu Aisha. Kubu Ummu Salamah sempat memprotes kepada Muhammad agar orang-orang yang berniat memberi hadiah kepada Muhammad jangan hanya dilakukan di rumah Aisha isteri kesayangan Muhammad, melainkan di rumah isteri mana saja ketika giliran beliau berada. Maksudnya agar Muhammad jangan pilih kasih diantara para isteri-isterinya. Tetapi apa jawaban Muhammad?
Nabi memanfaatkan wahyu Allah untuk meredam kritikan Ummu Salamah. Beliau bersabda: “Jangan saya disakiti berkenaan dengan Aisha. Sesungguhnya wahyu hanya datang kepada saya ketika saya dalam selimut seorang perempuan di rumah Aisha.” (HR Bukhari 2).
Aisha sendiri juga pernah menyindir Muhammad ketika “wahyu-wahyu yang mengatur” ini selalu turun untuk membela urusan Muhammad terhadap wanita. Ketika ayat 34:49 turun Aisha berkata kepada Muhammad: “Allah cepat-cepat memenuhi keinginan nafsumu.” (As Suyuti dalam Asbab al Nuzul tentang ayat tersebut).
Ada begitu banyak wanita-wanita cantik dalam haremnya Muhammad, tetapi mengapa gairah seksnya tidak terpuaskan. Ini menimbulkan kecurigaan, Ibn Sa’d mengutip gurunya Waqidi yang berkata: “Rasul Allah suka berkata bahwa aku adalah orang yang lemah seks. Lalu Allah memberiku satu periuk daging matang. Setelah aku memakannya, kudapatkan kekuatan kapanpun aku ingin berhubungan seks.” (Tabaqat Vol 8, Page 200).
Dalam hadits lain Muhammad berkata: “Jibril membawakanku makanan satu periuk. Kumakan makanan itu dan kekuatan seks-ku bertambah menjadi sama dengan empatpuluh orang.” (Tabaqat Vol 8, Page 200).
SALAM POLIGAMI DAN PEDOFILI..
Sumber : Isauntukmuslim
Share this article :

4 komentar:

Terjemahan

 
Copyright © 2011. Islam Dalam Fakta - All Rights Reserved
Proudly powered by Blogger