Headlines News :
Home » , , , » Muhammad Ngemis-ngemis Minta Diakui Rasul

Muhammad Ngemis-ngemis Minta Diakui Rasul

Written By Islam Dalam Fakta on Minggu, 06 Januari 2013 | 16.13

Muhammad ngemis-ngemis minta diakui & dijadikan pemimpin

Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam Jilid 1 Halaman 384-387
    RASULULLAH SAW MENAWARKAN DIRINYA KEPADA KABILAH-KABILAH

    Ibnu Ishaq berkata, "Kemudian Rasulullah SAW pulang ke Makkah. Sedang kaum beliau, mereka semakin menentang dan meninggalkan agama beliau, kecuali sebagian kecil dari orang-orang lemah yang telah beriman kepada beliau. Jika musim-musim haji tiba, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menawarkan dirinya kepada kabilah-kabilah Arab. Beliau mengajak mereka kepada agama Allah, menjelaskan kepada mereka bahwa beliau adalah Nabi yang diutus meminta mereka membenarkan dan melindungi beliau, sehingga beliau bisa menjelaskan apa yang beliau bawa dari Allah."

    Abu Lahab Menjauhkan Manusia dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam

    lbnu Ishaq berkata bahwa Husain bin Abdullah bin Ubaidillah bin Abby berkata kepadaku, aku mendengar Rabi'ah bin Abbad yang pernah berbicara dengan ayahku yang berkata, "Sesungguhnya aku anak muda bersama ayahku di Mina. Ketika itu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berdiri di salah satu hunian kabilah Arab. Beliau bersabda,`Hai Bani Fulan, sesungguhnya aku utusan Allah kepada kalian. Allah memerintahkan hendaklah kalian beribadah kepada-Nya, tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, kalian harus melepas tandingan-tandingan yang kalian sembah selain Allah, kalian beriman kepadakumembenarkanku dan melindungiku hingga aku dapat menjelaskan apa yang aku bawa dari Allah.' Di belakang Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam terdapat orang yang juling matanya, wajahnya tampan, mempunyai dua jalinan rambut dan mengenakan pakaian dari Aden. Jika Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah berbicara dan mendakwahkan dakwah beliau, orang tersebut berkata, `Hai Bani Si Fulan, sesungguhnya orang ini mengajak kalian untuk melepas Tuhan Al-Lata dan Tuhan Al-Uzza dari leher kalian dan dari sekutu-sekutu kalian dari jin Bani Malik bin Aqiqisy kepada bid'ah dan kesesatan yang dibawanya. Kalian jangan taat kepadanya dan jangan dengar ucapannya.' Aku bertanya kepada ayahku, 'Ayah, siapakah orang yang berkata sesudah orang tersebut dan membantah ucapannya tersebut?' Ayah menjawab, 'Dia adalah pamannya yang bernama Abdul Uzza bin Abdul Muththalib Abu Lahab'."

    Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam Menawarkan Dirinya kepada Kindah

    Ibnu Ishaq berkata bahwa Ibnu Syihab berkata kepadaku bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam datang ke Kindah di pemukiman mereka. Mereka mempunyai pemimpin yang bernama Malih. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengajak Malih kepada agama Allah Azza wa Jalla dan menawarkan dirinya kepada mereka, namun mereka tidak merespon permintaan beliau.

    Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam Menawarkan Dirinya kepada Bani Abdullah, Sebuah Kabilah dari Bani Kalb

    Ibnu Ishaq berkata bahwa Muhammad bin Abdurrahman bin Abdullah bin Hushain berkata kepadaku, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam datang ke kabilah Bani Kalb di pemukiman mereka, tepatnya salah satu dari kabilah mereka yang bernama kabilah Abdullah. Rasulullah SAW mengajak mereka kepada agama Allah danmenawarkan diri beliau kepada mereka. Beliau bersabda kepada mereka, "Hai Bani Si Fulan, sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah memberi nama yang baik untuk nenek moyang kalian." Mereka tidak menerima tawaran beliau. [Duladi: Muhammad pake jurus merayu segala, tapi gak berhasil]

    Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam Menawarkan Dirinya kepada Bani Hanifah

    Ibnu Ishaq berkata bahwa sebagian sahabat kami berkata kepadaku dari Abdullah bin Ka'ab bin Malik bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mendatangi Bani Hanifah di pemukiman mereka. Beliau mengajak mereka kepada agama Allah dan menawarkan diri beliau kepada mereka, namun tidak ada orang Arab yang tanggapannya lebih buruk daripada tanggapan mereka.

    Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam Menawarkan Dirinya kepada Bani Amir bin Sha'sha'ah

    Ibnu Ishaq berkata bahwa Az-Zuhri berkata kepadaku, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mendatangi Bani Amir bin Sha'sha'ah. Beliau mengajak mereka kepada agama Allah Azza wa Jalla dan menawarkan dirinya kepada mereka. Salah seorang dari mereka yang bernama Biharah bin Firas (lbnu Hisyam berkata, "Firas adalah anak Abdullah bin Salamah bin Qusyair bin Ka'ab bin Rabi'ah bin Amir bin Sha'sha'ah.") berkata, Demi Allah, seandainya aku mengambil pemuda ini dari orang-orang Quraisy, aku pasti ditelan orang-orang Arab.' 

    Biharah bin Firas berkata kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, `Bagaimana pendapatmu jika kami mengikuti agamamu, kemudian Allah memenangkanmu atas orang-orang yang menentangmu. Apakah setelah itu urusan ini menjadi milik kami?' 

    Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, 'Semua urusan itu milik Allah. Dia menempatkannya sesuai dengan kehendak-Nya.' 

    Biharah bin Firas berkata kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, 'Apakah engkau akan mengarahkan leher-leher kami kepada orang-orang Arab hanya karena membelamu, kemudian jika Allah memenangkanmu, maka urusan ini menjadi milik orang lain selain kami? Kami tidak butuh urusanmu.' Mereka menolak penawaran Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.

    Setelah menyelesaikan ibadah haji, para jama'ah haji pulang ke negerinya masing-masing, termasuk Bani Amir. Mereka pulang menemui orang tua mereka yang telah lanjut usia dan tidak bisa ikut haji bersama mereka. Biasanya jika mereka telah bertemu kembali dengan orang tua tersebut, mereka bercerita kepadanya tentang apa saja yang terjadi di musim haji. Ketika mereka tiba dari menunaikan ibadah haji pada tahun ini dan bertemu dengan orang tua mereka tersebut, orang tua tersebut bertanya kepada mereka tentang apa saja yang terjadi pada musim haji tahun ini. Mereka menjawab, 'Seorang pemuda dari Quraisy, tepatnya dari Bani Abdul Muththalib datang kepada kami. la mengaku sebagai nabi dan mengajak kita melindunginya, berpihak kepadanya dan memboyongnya ke negeri kita.' Orang lua tersebut meletakkan kedua tangannya di atas kepalanya, kemudian berkata, `Hai Bani Amir, apakah dia masih bisa dicari? Apakah kalian bisa mengambil apa yang telah hilang dari kalian? Demi Dzat yang jiwa Si Fulan berada di Tangan-Nya, sesungguhnya anak keturunan Ismail tidak pernah sekalipun mengada-ngada dalam ucapannya. Ucapannya benar. Mana kecerdasan kalian yang tadinya kalian miliki?"' [Duladi: ????? Sikap seperti inikah yang dibilang cerdas? Anak keturunan Ismail? Ucapan anak keturunan Ismail pasti benar? Huek!]

    Ibnu Ishaq berkata, "Itulah yang dilakukan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Jika manusia berkumpul untuk melakukan ibadah haji, beliau mendatangi mereka. Beliau ajak kabilah-kabilah kepada agama Allah dan Islam, beliau menawarkan diri beliau kepada mereka petunjuk dan rahmat yang beliau bawa dari Allah. Jika Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Salla'n mendengar kedatangan orang-orang Arab yang tehormat ke Makkah, beliau segera menemui mereka, mengajak mereka kepada agama Allah dan menawarkan apa yang beliau miliki kepada mereka."

    Suwaid bin Shamit

    Ibnu Ishaq berkata bahwa Ashim bin Umar bin Qatadah AI-Anshan. Adz-Dzafari berkata kepadaku dari orang-orang tua kaumnya yang berkata. "Suwaid bin Shamit, saudara Bani Amr bin Auf tiba di Makkah untuk melakukan ibadah haji atau umrah. Suwaid di kalangan kaumnya dipanggil Al-Kamil, karena kesabarannya, kemuliaannya dan nasabnya."

    Pertemuan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dengan Suwaid bin Shamit

    Ibnu Ishaq berkata, "Ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mendengar kedatangan Suwaid bin Shamit, beliau menemuinya dan mengajaknya kepada agama Allah dan kepada Islam. Suwaid bin Shamit berkata kepada Rasulullah ShallallahuAlaihi wa Sallam, 'Barangkali apa yang engkau bawa itu sama dengan apa yang aku bawa.' Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berkata kepada Suwaid bin Shamit, 'Apa yang engkau bawa?' Suwaid bin Shamit berkata, 'Lembaran mulia Luqman.' Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berkata kepada Suwaid bin Shamit, 'Coba perlihatkan lembaran tersebut kepadaku!' Suwaid bin Shamit memperlihatkan lembaran mulia Luqman kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, kemudian beliau bersabda, 'Ini ucapan yang bagus, namun apa yang aku miliki jauh lebih bagus. Yang aku miliki ialah Al-Qur'an yang diturunkan Allah Ta'ala kepadaku. AI-Qur'an adalah petunjuk dan cahaya.' Kemudian Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam membacakan AI-Qur'an kepada Suwaid bin Shamit dan mengajaknya kepada Islam. Suwaid bin Shamit tidak membantah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Suwaid bin Shamit berkata, 'Sesungguhnya ini ucapan yang bagus.' Usai berkata begitu, Suwaid bin Shamit pergi dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan pulang ke Madinah untuk bertemu dengan kaumnya. Tidak lama setelah itu, Suwaid bin Shamit dibunuh orang-orang Al-Khazraj. Orang-orang dari kaumnya berkata, 'Sesungguhnya kami melihatnya dibunuh dalam keadaan Muslim.' Pembunuhan Suwaid bin Shamit terjadi sebelum Perang Bu'ats."
    [Duladi: Begitulah modal Muhammad, ngaku-ngaku nabi dan membacakan kata-kata bijak (ayat-ayat Mekkah). Dia tidak membawa TANDA PENGENAL dari Tuhan dalam bentuk mujizat yang berguna, kecuali "ayat-ayat" yang diklaimnya sebagai wahyu]

Tidak semua orang berhasil diyakinkannya, karena tidak semua orang Arab itu bodoh.
Orang-orang Arab bodoh, seperti kaum Anshar, bisa terbujuk oleh rayuan Muhammad. Mengenai kaum Anshar yang terbujuk Muhammad, bisa dibaca di topik:
Alasan Kaum Anshar Menerima Muhammad

Dengan membaca cuplikan Sirah di atas, dapat kita simpulkan bahwa tujuan Muhammad ngemis-ngemis kepada para kabilah adalah untuk:

1) Mendapatkan dukungan pengikut, yang bisa diandalkan untuk memerangi Quraish (balas dendam) [Baca Hadist Sahih BUkhari, Volumn 006, Book 060, Hadith Number 293]
2) Muhammad ingin dirinya dirangkul oleh suatu kabilah dan memboyong dirinya keluar dari Mekkah agar dia bisa mempersiapkan diri menyerang Quraish di kemudian hari.
3) Muhammad bukanlah nabi yang punya misi mentobatkan orang kepada kebajikan, melainkan "nabi gadungan" yang punya misi mendirikan klen atau geng bernama Islam. Karena itu orientasinya bukan pada kualitas moral, melainkan pada kuantitas (jumlah rekrutan). [Baca ]

Sumber : Mengenal Islam
Share this article :

8 komentar:

  1. Anda ini Orientalis ataupun org yg mempelajari islam dan sejarah islam tapi untuk menghasut.
    Anda hanya modal nukil, tdk mampu membahasakan dengan bahasa sendiri yg bs dipahami,tpi anda cuma bisa kasih komen2 yang sebenarnya beda dg maksud penulis yg anda byk mncomot tulisan mrk!
    Anda menyimpulkan sndiri brdasarkn guru guru anda.
    Lalu apa manfaat anda bawakan tulisan2 ulama muslim?
    Dilarang membajak Karya tulis orang lain!

    jelas2 di situ tertulis:
    `Hai Bani Fulan, sesungguhnya aku utusan Allah kepada kalian. Allah memerintahkan hendaklah kalian beribadah kepada-Nya, tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, kalian harus melepas tandingan-tandingan yang kalian sembah selain Allah, kalian beriman kepadaku, membenarkanku dan melindungiku hingga aku dapat menjelaskan apa yang aku bawa dari Allah.' ....dst..
    Biharah bin Firas berkata kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, `Bagaimana pendapatmu jika kami mengikuti agamamu, kemudian Allah memenangkanmu atas orang-orang yang menentangmu. Apakah setelah itu urusan ini menjadi milik kami?'

    Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, 'Semua urusan itu milik Allah. Dia menempatkannya sesuai dengan kehendak-Nya.' ...

    rasulullah HANYA mengajak kpd peribadatan kpd Allah semata,semua hasilnya adalah utk Allah,supaya kita mendapat rahmat dari Allah selamat dri api neraka dg menjauhi peribadatan kpd selain Allah Tuhan semesta alam..lalu darimana anda menyimpulkan:


    ...dapat kita simpulkan bahwa tujuan Muhammad ngemis-ngemis kepada para kabilah adalah untuk:

    1) Mendapatkan dukungan pengikut, yang bisa diandalkan untuk memerangi Quraish (balas dendam) [Baca Hadist Sahih BUkhari, Volumn 006, Book 060, Hadith Number 293]
    2) Muhammad ingin dirinya dirangkul oleh suatu kabilah dan memboyong dirinya keluar dari Mekkah agar dia bisa mempersiapkan diri menyerang Quraish di kemudian hari.
    3) Muhammad bukanlah nabi yang punya misi mentobatkan orang kepada kebajikan, melainkan "nabi gadungan" yang punya misi mendirikan klen atau geng bernama Islam. Karena itu orientasinya bukan pada kualitas moral, melainkan pada kuantitas (jumlah rekrutan). [Baca ]?????

    aneh kamu ni. Menukil tulisan tapi kesimpulannya aneh.

    BalasHapus
  2. Petunjuk Bagi Orang-orang yang Bingung (Terhadap Buku Ahlul Kitab dan Orang2 yang sesat)
    (2397 Views) November 16, 2011 12:38 am | Published by Redaksi | 1 Comment
    (ditulis oleh: Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari)



    Shahabat yang mulia bernama Jabir bin Abdillah menuturkan:

    “Umar ibnul Khaththab zdatang kepada Nabi n dengan membawa sebuah kitab yang diperolehnya dari sebagian ahlul kitab. Nabi n pun membacanya lalu beliau marah seraya bersabda: “Apakah engkau termasuk orang yang bingung, wahai Ibnul Khaththab? Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku telah datang kepada kalian dengan membawa agama yang putih bersih. Janganlah kalian menanyakan sesuatu kepada mereka (ahlul kitab), sehingga mereka mengabarkan al-haq (kebenaran) kepada kalian namun kalian mendustakan al-haq tersebut. Atau mereka mengabarkan satu kebatilan lalu kalian membenarkan kebatilan tersebut. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya Musa u masih hidup niscaya tidaklah melapangkannya kecuali dengan mengikuti aku.”

    Hadits ini diriwayatkan Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya 3/387 dan Ad-Darimi dalam muqaddimah kitab Sunan-nya no. 436. Demikian pula Ibnu Abi ‘Ashim Asy-Syaibani dalam kitabnya As-Sunnah no. 50. Hadits ini dihasankan oleh imam ahlul hadits di jaman ini Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani t dalam Zhilalul Jannah fi Takhrij As-Sunnah dan Irwa`ul Ghalil no. 1589.
    Dalam riwayat Ad-Darimi hadits di atas datang dengan lafadz:

    ‘Umar ibnul Khaththab z datang kepada Rasulullah n dengan membawa salinan dari kitab Taurat. Ia berkata: “Ya Rasulullah, ini salinan dari kitab Taurat.” Rasulullah n diam, lalu mulailah ‘Umar membacanya dalam keadaan wajah beliau n berubah. Melihat hal itu Abu Bakar ber-kata kepada ‘Umar: “Betapa ibumu kehilang-an kamu, tidakkah engkau melihat perubah-an pada wajah Rasulullah n?” Umar melihat wajah Rasulullah n (dan ia menangkap perubahan tersebut), maka ia berkata: “Aku berlindung kepada Allah dari kemurkaan Allah dan Rasul-Nya. Kami ridha Allah seba-gai Rabb kami, Islam sebagai agama kami dan Muhammad sebagai Nabi kami.” Rasu-lullah n berkata: “Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seandai-nya Musa u muncul kepada kalian kemudian kalian mengikutinya dan meninggalkan aku, sungguh kalian telah sesat dari jalan yang lu-rus. Seandainya Musa masih hidup dan ia menemui masa kenabianku, niscaya ia akan mengikutiku.”

    BalasHapus
  3. Sikap Seorang Muslim terhadap Berita-berita Ahlul Kitab
    Berita-berita yang datang dari ahlul kitab, Yahudi ataupun Nasrani, yang tidak ada keterangannya dalam syariat kita, tidak boleh kita pastikan kebenarannya kemudian kita benarkan. Atau memastikan kedusta-annya kemudian kita pun mendustakannya. Karena berita itu bisa jadi benar atau haq dan bisa jadi dusta atau batil. Jika kita benarkan dikhawatirkan itu adalah batil dan bila kita dustakan khawatirnya itu adalah haq. Sehingga dua keadaan ini bisa men-jatuhkan kita ke dalam dosa.
    Shahabat Rasulullah n yang mulia Abu Hurairahzmengabarkan:

    Adalah ahlul kitab mereka membaca Taurat dalam bahasa Ibrani dan mereka menafsirkannya dengan bahasa Arab kepada orang-orang Islam. Maka Rasulullah n bersabda: “Janganlah kalian membenarkan ahlul kitab dan jangan pula mendustakannya, dan katakanlah: “Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan pada kami….” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 4485)
    Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani t berkata ketika menjelaskan sabda Nabi n (Janganlah kalian membenarkan ahlul kitab dan jangan pula mendustakannya): “Yakni apabila berita yang mereka kabarkan itu masih mengan-dung ihtimal (kemungkinan benar dan kemungkinan salah). Sehingga jangan sampai perkaranya benar namun kalian mendustakannya atau perkaranya dusta namun kalian membenarkannya, dan kalian pun terjatuh dalam dosa. Dan tidak ada larangan mendustakan mereka dalam perkara yang memang syariat kita menyelisihinya dan tidak pula ada larangan untuk membenarkan mereka dalam perkara yang disepakati syariat kita, demikian penjelasan Al-Imam Asy-Syafi’i.” (Fathul Bari 8/214)
    Bersamaan dengan itu kita dilarang bertanya tentang perkara agama kepada ahlul kitab. Karena itulah Ibnu Abbas c berkata:

    Bagaimana kalian bertanya kepada ahlul kitab tentang sesuatu sementara kitab kalian yang diturunkan kepada Rasulullah n adalah kitab paling akhir (turunnya dari sisi Allah). Kalian membacanya dalam keadaan murni tidak bercampur (dengan kepalsuan). Allah telah menyampaikan (keterangan) kepada kalian bahwa ahlul kitab itu telah mengganti dan mengubah-ubah kitabullah. Mereka menulis kitab itu dengan tangan-tangan mereka (mereka karang sendiri) kemudian mereka mengatakan: “Ini (apa yang mereka tulis itu) diturunkan dari sisi Allah.” Mereka lakukan perbuatan itu untuk memperoleh keuntungan yang sedikit. Tidakkah ilmu yang datang kepada kalian mencegah kalian dari bertanya kepada mereka? Tidak, demi Allah! Kami tidak melihat seorang pun dari mereka yang bertanya kepada kalian tentang apa yang diturunkan kepada kalian. (HR. Al-Bukhari no. 7363, kitab Al-I’tisham bil Kitab was Sunnah, bab Qaulin Nabi n: La Tas`alu Ahlal Kitab ‘an Syai`in)

    BalasHapus
  4. Dari ucapan beliau c: , seakan-akan Ibnu ‘Abbas c hendak menyatakan: “Mereka ahlul kitab tidak pernah menanyakan tentang sesuatu pun kepada kalian, sementara mereka tahu kitab kalian tidak ada tahrif (penyimpangan/ perubahan) di dalamnya. Mengapa kalian justru bertanya kepada mereka sedangkan kalian benar-benar mengetahui bahwa kitab mereka telah diubah dari aslinya?” (Fathul Bari 13/621).
    Abdurrazzaq Ash-Shan’ani t meriwayatkan dalam Mushannafnya3 (no. 19212) dari jalan Huraits bin Zhuhair, ia berkata: “Abdullah (yakni Ibnu Mas‘ud) berkata t:

    “Janganlah kalian bertanya tentang sesuatu kepada ahlul kitab karena sesung-guhnya mereka tidak akan memberikan petunjuk/ hidayah kepada kalian. Mereka sendiri telah menyesatkan diri mereka. (Bila kalian bertanya kepada mereka kemudian mereka memberitakan apa yang kalian tanyakan, dikhawatirkan) kalian akan men-dustakan yang haq atau membenarkan yang batil.”
    Bila ada yang menyatakan bahwa larangan bertanya kepada ahlul kitab ini seakan bertentangan dengan perintah Allah I dalam firman-Nya:

    “Maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca Al-Kitab sebelummu.” (Yunus: 94)
    Maka dijawab bahwa ayat ini tidaklah bertentangan dengan larangan yang tersebut dalam hadits. Karena yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah bertanya kepada ahlul kitab yang telah beriman, sementara larangan yang tersebut dalam hadits hanyalah ditujukan bila bertanya kepada ahlul kitab yang belum beriman. (Fathul Bari 13/408)

    BalasHapus
  5. Peringatan Rasulullah n dari Membaca Buku-buku Ahlul Kitab
    Di dalam Al-Qur`an, Allah I mengabarkan bahwa ahlul kitab telah mengubah-ubah kitab mereka yang tadinya merupakan kalamullah yang diturunkan dari atas langit, namun kemudian karena ulah para pendeta Yahudi dan Nasrani bercampurlah kalamullah tersebut dengan kalam manusia. Bahkan kalamullah itu sendiri mereka ubah dan dipindahkan dari tempatnya, sehingga kitab mereka tidak lagi murni sebagaimana diturunkan pada awalnya, tetapi tercampur dengan kepal-suan dan kedustaan, dan susah untuk dipisahkan mana yang haq dan mana yang batil.
    Allah I berfirman:

    Maka kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang menulis Al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: “Ini dari Allah”, dengan maksud untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang mereka kerjakan4.” (Al-Baqarah: 79)
    Al-Imam Ath-Thabari t berkata: “Yang Allah maksudkan dengan firman-Nya ini adalah orang-orang Yahudi Bani Israil yang telah melakukan tahrif atas Kitabullah. Dan mereka menulis sebuah kitab berdasar-kan penakwilan/ penafsiran menyimpang yang mereka buat, menyelisihi dengan apa yang Allah I turunkan kepada Nabi Musa u. Kemudian orang-orang Yahudi ini menjual kitab karangan mereka itu kepada suatu kaum yang tidak memiliki ilmu tentang penakwilan tersebut, tidak pula memiliki pengetahuan dengan apa yang terdapat dalam Taurat, dan kepada orang-orang bodoh yang tidak mengetahui apa yang terdapat dalam kitabullah. Mereka, orang-orang Yahudi melakukan hal ini, karena ingin mendapatkan dunia yang rendah.” (Jami’ul Bayan fi Ta`wil Ayil Qur`an 1/422)
    Al-Imam Al-Baghawi t menyebut-kan bahwa pendeta-pendeta Yahudi itu khawatir kehilangan sumber penghidupan dan kepemimpinan mereka ketika Nabi n datang ke Madinah. Mereka lalu melakukan tipu daya untuk menyimpangkan orang-orang Yahudi dari beriman kepada Nabi n. Mereka telah memahami sifat/ ciri-ciri beliau n yang tersebut dalam Taurat, di mana disebutkan bahwa beliau memiliki wajah dan rambut yang bagus, kedua matanya seperti bercelak, perawakannya sedang tidak terlalu tinggi tidak pula pendek. Mereka lalu kemudian mengubah sifat-sifat tersebut dan menggantinya dengan sifat tinggi, miring matanya, dan keriting rambutnya. Bila orang-orang bodoh yang tidak mengerti Taurat bertanya tentang sifat/ ciri-ciri nabi yang terakhir kepada para pendeta ini, mereka pun membacakan apa yang telah mereka tulis, sehingga orang-orang bodoh tersebut menjumpai sifat/ ciri-ciri nabi yang akhir itu berbeda dengan sifat/ ciri Nabi n. Akibatnya mereka pun mendustakannya. (Ma’alimut Tanzil, 1/54-55)

    BalasHapus
  6. Allah I berfirman:

    “Mereka (orang-orang Yahudi) mengubah perkataan dari tempat-tempat-nya.” (An-Nisa: 46)
    Ayat di atas menunjukkan bahwa sifat orang-orang Yahudi itu suka mengganti dan mengubah-ubah makna Taurat dari tafsir yang sebenarnya. (Jami‘ul Bayan fi Ta`wil Ayil Qur`an 4/121)
    Perubahan yang mereka lakukan itu bisa berupa lafadz atau maknanya, atau keduanya sekaligus. Mereka mengubah hakikat yang ada, menempatkan al-haq di atas al-batil, dan menentang al-haq itu. (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 181)
    Diriwayatkan bahwa Ka‘b Al-Ahbar pernah datang menemui Umar ibnul Khaththab z, yang ketika itu menjabat sebagai Amirul Mukminin, dengan mem-bawa sebuah mushaf, ia berkata: “Wahai Amirul Mukminin, dalam mushaf ini tertulis Taurat, apakah aku boleh membacanya?”
    Umar menjawab: “Jika memang engkau yakin itu adalah Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa u pada hari Thursina maka silahkan membacanya. Dan jika tidak, maka jangan membacanya.” (Syarhus Sunnah 1/271)
    Karena bercampurnya al-haq dengan al-batil inilah, Rasulullah n mengingkari perbuatan Umar t yang memegang Taurat sebagaimana tersebut dalam hadits yang menjadi pembahasan kita. Beliau n menyatakan kepada Umar:

    “Apakah engkau termasuk orang yang bingung wahai Ibnul Khaththab? Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku telah datang kepada kalian dengan membawa agama yang putih bersih.”
    Di samping itu, apa yang datang dalam syariat agama yang dibawa Rasulullah n sudah sangat memadai sehingga umat beliau tidak lagi mem-butuhkan syariat agama lain atau syariat umat terdahulu. Umat ini tidak lagi butuh nabi dan rasul lain setelah diutusnya Rasulullah n di tengah mereka. Kalaupun para nabi dan rasul terdahulu, sebelum Muhammad n, masih hidup dan menemui masa kenabian beliau, niscaya para nabi dan rasul tersebut akan mengikuti beliau dan tunduk pada syariat yang beliau bawa. Karena itulah Rasulullah n berkata kepada ‘Umar z:

    “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya seandainya Musa u masih hidup niscaya tidaklah melapangkannya kecuali dengan mengikuti aku.”

    BalasHapus
  7. Manhaj yang Benar terhadap Buku-buku Ahlul Bid’ah wal Ahwa`
    Melihat ‘Umar z memegang lembaran yang tertulis Taurat di dalamnya sudah membuat wajah Rasulullah n berubah karena marah. Padahal kitab Taurat merupakan salah satu kitab samawi, Kalamullah yang diturunkan Allah I dari langit, meski kemudian diubah-ubah dan diganti Yahudi. Lalu bagaimana kiranya jika beliau r melihat buku-buku yang jelas tidak diturunkan dari langit, malah isinya bertentangan dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah? Bagaimana kira-kira kemarahan beliau bila melihat kita membolak-balik buku tersebut dan membacanya? Apalagi ingin menyelami kebenaran yang katanya ada atau mungkin ada di dalamnya? Tentunya kemurkaan beliau jauh lebih besar lagi. Wallahul musta’an.
    Bisa jadi buku-buku yang ditulis ahlul bid’ah dan pengekor hawa nafsu itu ada setitik atau beberapa titik nilai kebenaran, tapi kebenaran apa yang bisa diharapkan bila ia dibalut dan diselimuti sekian banyak kebatilan? Dan bukankah buku-buku yang selamat dari kebatilan masih banyak, buku-buku yang ditulis ulama Ahlus Sunnah masih menggunung? Kenapa harus mempersulit diri dengan menyelami samudera kebatilan nan pekat karena ingin mendapatkan sebutir kecil mutiara kebenaran?
    Ketika Abu Zur’ah Ar-Razi t memperingatkan seseorang dari bukunya Al-Harits Al-Muhasibi dengan menyatakan: “Hati-hati engkau dari buku-buku ini, karena ini merupakan buku-buku bid’ah dan kesesatan. Wajib bagimu berpegang dengan atsar (hadits atau Sunnah Nabi) karena di dalamnya engkau akan merasa cukup.” Ternyata orang itu berkelit dengan mengatakan: “Dalam buku-buku ini ada ibrah/ pelajaran.” Apa jawaban Abu Zur’ah t Beliau menegaskan: “Siapa yang tidak mendapatkan ibrah dalam Kitabullah, niscaya tidak ada baginya ibrah dalam buku-buku ini.” (Al-Mizan 2/165)
    Memberi peringatan (tahdzir) dari kitab-kitab yang di dalamnya terdapat kebid’ahan dan kesesatan, me-mang termasuk manhaj as-salafus shalih dengan men-contoh Rasul yang mulia r ketika mengingkari perbu-atan ‘Umar ibnul Khaththab t. Tahdzir ini dimak-sudkan sebagai penjagaan terha-dap manhaj kaum muslimin dari kemudharatan dan bahaya yang dikandung dalam buku-buku tersebut. Dan tidak termasuk perbu-atan dzalim bila seorang muslim menasehati saudaranya untuk menjauhi buku-buku yang demikian karena ingin menghindarkan kemudharatan yang akan didapatkannya, dengan semata ia menyebutkan kejelekan buku tersebut tanpa menyinggung kebaikannya. (Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah fi Naqdir Rijal, wal Kutub wath Thawa`if, hal. 128, karya Asy-Syaikh Prof. Dr. Rabi‘ bin Hadi Al-Madkhali)
    Al-Imam Ibnu Muflih t berkata: “Asy-Syaikh Muwaffaquddin t me-nyebutkan larangan dari melihat buku-buku ahlul bid’ah. Beliau mengatakan: “Adalah generasi salaf melarang dari bermajelis dengan ahlul bid’ah, melarang melihat buku-buku mereka, dan mendengar ucapan mereka.” (Al-Adabus Syar’iyyah, 1/251)
    Asy-Syaikh Prof. Dr. Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali berkata menukilkan ucapan Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah: “Setiap buku yang berisi penyelisihan terhadap As-Sunnah tidak boleh dilihat dan dibaca. Bahkan yang diizinkan dalam syariat adalah menghapus dan memusnahkannya.” Kemudian Ibnul Qayyim t me-nyebutkan: “Para shahabat telah membakar seluruh mushaf yang me-nyelisihi mushaf Utsman karena kekhawatiran mereka akan tim-bulnya perselisihan di tengah umat. Maka bagaimana bila mereka meli-hat buku-buku ini yang menciptakan perselisihan dan perpecahan di kalangan umat….” Ibnul Qayyim ber-kata lagi: “Maksud dari semua ini adalah buku-buku yang mengandung kedustaan dan bid’ah wajib untuk dimusnahkan dan dipunahkan. Bahkan memusnahkannya lebih utama daripada menghancurkan alat-alat laghwi dan musik serta bejana-bejana yang berisi khamr. Karena bahaya buku-buku ini lebih besar daripada bahaya alat-alat musik. Dengan demikian tidak ada ganti rugi terhadap buku-buku tersebut sebagai-mana tidak ada ganti rugi dari penghancuran bejana-bejana khamr.” (Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah fi Naqdir Rijal, wal Kutub wath Thawa`if, hal. 134)
    Wallahu a’lam bish-shawab.

    BalasHapus
  8. Manhaj yang Benar terhadap Buku-buku Ahlul Bid’ah wal Ahwa`
    Melihat ‘Umar z memegang lembaran yang tertulis Taurat di dalamnya sudah membuat wajah Rasulullah n berubah karena marah. Padahal kitab Taurat merupakan salah satu kitab samawi, Kalamullah yang diturunkan Allah I dari langit, meski kemudian diubah-ubah dan diganti Yahudi. Lalu bagaimana kiranya jika beliau r melihat buku-buku yang jelas tidak diturunkan dari langit, malah isinya bertentangan dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah? Bagaimana kira-kira kemarahan beliau bila melihat kita membolak-balik buku tersebut dan membacanya? Apalagi ingin menyelami kebenaran yang katanya ada atau mungkin ada di dalamnya? Tentunya kemurkaan beliau jauh lebih besar lagi. Wallahul musta’an.
    Bisa jadi buku-buku yang ditulis ahlul bid’ah dan pengekor hawa nafsu itu ada setitik atau beberapa titik nilai kebenaran, tapi kebenaran apa yang bisa diharapkan bila ia dibalut dan diselimuti sekian banyak kebatilan? Dan bukankah buku-buku yang selamat dari kebatilan masih banyak, buku-buku yang ditulis ulama Ahlus Sunnah masih menggunung? Kenapa harus mempersulit diri dengan menyelami samudera kebatilan nan pekat karena ingin mendapatkan sebutir kecil mutiara kebenaran?
    Ketika Abu Zur’ah Ar-Razi t memperingatkan seseorang dari bukunya Al-Harits Al-Muhasibi dengan menyatakan: “Hati-hati engkau dari buku-buku ini, karena ini merupakan buku-buku bid’ah dan kesesatan. Wajib bagimu berpegang dengan atsar (hadits atau Sunnah Nabi) karena di dalamnya engkau akan merasa cukup.” Ternyata orang itu berkelit dengan mengatakan: “Dalam buku-buku ini ada ibrah/ pelajaran.” Apa jawaban Abu Zur’ah t Beliau menegaskan: “Siapa yang tidak mendapatkan ibrah dalam Kitabullah, niscaya tidak ada baginya ibrah dalam buku-buku ini.” (Al-Mizan 2/165)
    Memberi peringatan (tahdzir) dari kitab-kitab yang di dalamnya terdapat kebid’ahan dan kesesatan, me-mang termasuk manhaj as-salafus shalih dengan men-contoh Rasul yang mulia r ketika mengingkari perbu-atan ‘Umar ibnul Khaththab t. Tahdzir ini dimak-sudkan sebagai penjagaan terha-dap manhaj kaum muslimin dari kemudharatan dan bahaya yang dikandung dalam buku-buku tersebut. Dan tidak termasuk perbu-atan dzalim bila seorang muslim menasehati saudaranya untuk menjauhi buku-buku yang demikian karena ingin menghindarkan kemudharatan yang akan didapatkannya, dengan semata ia menyebutkan kejelekan buku tersebut tanpa menyinggung kebaikannya. (Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah fi Naqdir Rijal, wal Kutub wath Thawa`if, hal. 128, karya Asy-Syaikh Prof. Dr. Rabi‘ bin Hadi Al-Madkhali)
    Al-Imam Ibnu Muflih t berkata: “Asy-Syaikh Muwaffaquddin t me-nyebutkan larangan dari melihat buku-buku ahlul bid’ah. Beliau mengatakan: “Adalah generasi salaf melarang dari bermajelis dengan ahlul bid’ah, melarang melihat buku-buku mereka, dan mendengar ucapan mereka.” (Al-Adabus Syar’iyyah, 1/251)
    Asy-Syaikh Prof. Dr. Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali berkata menukilkan ucapan Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah: “Setiap buku yang berisi penyelisihan terhadap As-Sunnah tidak boleh dilihat dan dibaca. Bahkan yang diizinkan dalam syariat adalah menghapus dan memusnahkannya.” Kemudian Ibnul Qayyim t me-nyebutkan: “Para shahabat telah membakar seluruh mushaf yang me-nyelisihi mushaf Utsman karena kekhawatiran mereka akan tim-bulnya perselisihan di tengah umat. Maka bagaimana bila mereka meli-hat buku-buku ini yang menciptakan perselisihan dan perpecahan di kalangan umat….” Ibnul Qayyim ber-kata lagi: “Maksud dari semua ini adalah buku-buku yang mengandung kedustaan dan bid’ah wajib untuk dimusnahkan dan dipunahkan. Bahkan memusnahkannya lebih utama daripada menghancurkan alat-alat laghwi dan musik serta bejana-bejana yang berisi khamr. Karena bahaya buku-buku ini lebih besar daripada bahaya alat-alat musik. Dengan demikian tidak ada ganti rugi terhadap buku-buku tersebut sebagai-mana tidak ada ganti rugi dari penghancuran bejana-bejana khamr.” (Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah fi Naqdir Rijal, wal Kutub wath Thawa`if, hal. 134)
    Wallahu a’lam bish-shawab.

    BalasHapus

Terjemahan

 
Copyright © 2011. Islam Dalam Fakta - All Rights Reserved
Proudly powered by Blogger